Yakin Masih Mau Membiarkan Bayi Anda Nonton TV Sehabis Baca Pengalaman Ibu Satu Ini...????
HAI ANAKKU, SUNGGUH SEMUA INI SALAHKU
Photo ini di ambil sekitar 2 tahun yang lalu. Umur rei baru hitungan bln..
Saat itu seseorang rekan di grup dengan berniat berkomentar, “Jangan diberi tv dong. Kasian.. Anak usia segitu gak bagus bila kena tv serta gadget. ”
Lalu apa tanggapan saya?
Sebagai ibu muda dengan tingkat emosi yang masihlah sukai meledak-ledak, saya tidak terima. Sebagai ibu muda yang tengah berjuang dengan status barunya, saya sebel dikomentarin.
Sebagai ibu muda yang emang belum belajar banyak tentang parenting yang baik, saya gak ingin tau.
Karena… orang yang komentar masihlah single.
Dalam hati, saya jadi balik nyinyir.
“Eh anda ya, nikah saja belom. Gatau rasanya jadi ibu. Gatau rasa-rasanya jadi stay at home mom, yang ga miliki pembantu. Mengharapkan si bocah anteng sebentar agar ibunya dapat masak ala kandungannya, sebatas makan sesudah lemes disedot Asinya sama bocah, sebatas mandi, sebatas rehat nonton tv. Bila tak ada pengalihan gini. Mana dapat emaknya ngerjain yang lain. ”
Fix… Saya membela diri.
Lalu…
Waktupun berlalu…
Rei semakin kecanduan nonton kartun di TV. Favoritnya dahulu yaitu Marsha and the bear.
Yang beberapa terang ngobrolnya gunakan bhs rusia.
Tiap-tiap saya ngerjain suatu hal, dia maunya nonton TV.
Bila tidak di setelin TV, anak ini mengamuk serta tantrum.
Fikir saya “Ah gapapa lah. Yang utama anteng. Dapat di ngerjain masalah rumah tangga. ”
Semakin lama….
Anak ini beneran anteng banget bila di depan tv. Dia dapat ketawa-ketawa sendiri setiap si marsha jahil. Atau setiap si Bear jatuh guling-guling dikerjain marsha.
Bila acara marsha nya bubar, dia bakal nangis mengamuk.
Bila g lagi nonton tv, dia ngapain? Ya seperti lazimnya anak-anak, dia bakal pecicilan ke sana kemari mainan apa saja.
Masuk umur satu tahun di mana semestinya anak telah mulai mengucap sebagian kata dengan terang, anak saya masihlah mengoceh gunakan bhs bayi. Mana bila ngamuk minta apa sukanya tantrum dengan tindakan mukulin kepala atau berguling-guling di lantai. Tiap-tiap di panggil namanya, dia cuek-cuek saja.
Hingga di sini… Saya serta suami mulai kewalahan, namun masihlah berasumsi lumrah. Baru satu tahun ini. Di amati dahulu lah. Demikian pemikiran saya.
Dengan cara motorik memanglah tak ada keterlambatan dalam diri anak saya. Cuma banyak hal yang saya fikir (lagi-lagi menurut saya) WAJAR.
Apakah itu?
1. Anak saya dari bayi sukai kagetan. Bila ada nada keras seperti klakson mobil atau orang teriak dia bakal bangun sembari menangis. Mitosnya, bila orang jawa “Dulu cocok baru lahir tidak di gebrak ya? ”
2. Saat telah dapat jalan, dia sukai sekali mendadak jalan jinjit. Seperti tidak ingin bila kakinya kotor. Dia juga gak sukai tidur di selimutin (walau sebenarnya gunakan AC). Dia gak ingin mencapai karpet atau keset bulu-bulu.
3. Tiap-tiap habis mandi lantas disisir rambutnya dengan sisir berupa sikat, anak ini senantiasa tampak tak nyaman. Pernah bahkan juga hingga menangis.
Masuk umur 2 th. anak saya masihlah belum dapat bicara. Janganlah bertanya seberapa dongkolnya saya setiap bisa pertanyaan dari beberapa kerabat “Kog belom dapat ngomong sih? ” atau saat rei ngoceh “Haduuuuh cah ganteng, anda ngomong apa kog seperti bhs alien. ”
(Emangnya telah pernah ketemu alien?)
Hingga pada akhirnya untuk memuaskan beberapa pemberi kritik, saya bawa Rei ke satu klinik tumbuh kembang.
Hasil konsultasi pertama waktu itu buat saya saat itu juga tidak sreg.
Mengapa?
Hla saat mendadak disebut anak saya ‘speech delay menghadap ke Autis’.
HAH… APAAA….!!!
Segampang itukah menyebutkan seseorang anak itu Autis?
“Hallooo… Gini-gini saya pernah bisa perkuliahan dengan materi Autisme ya. Seingat saya tes untuk diagnosis autis itu buwaaanyaaak. Tidak hanya di tes denver doang. Lantas saat lantaran anak saya cueknya 1/2 mati, asik dengan mainannya lantas dapat disebut autis. Gitu?
No no no… “
Lagi…. Emosi serta ego “ibu muda” saya bergejolak.
Saya tidak terima. Titik.
Saat itu saya males membawa anak saya ke klinik tumbuh kembang lagi.
Namun dengan beragam tekanan, serta hasil perenungan saya sebagai seseorang ibu yang memanglah rasakan ada yang salah dengan tumbuh kembang anak, pada akhirnya saya googling lagi. Mencari second opinion. Mencari pengalaman ibu-ibu lain dengan anak yang belum dapat bicara sekalipun di umur 2 th.. Mencari apa pun yang dapat saya kenali dengan kata kunci (keyword) “autisme”, “speech delay”, “keterlambatan bicara” serta lain lain.
Pada akhirnya saya temukan klinik yang gak sangat jauh dari tempat tinggal, dapat dijangkau sendiri naik motor. Saya juga mendiskusikan lagi dengan suami.
Apa tuturnya?
“Yang katakan anak kita autis itu siapa? Tidak usah di dengarkan mengapa sih? Orang anaknya baik-baik saja. Kelak bila telah waktunya juga pasti dapat ngomong. ”
Hyaaak… des… Suami saya juga sama ngeyelnya dengan saya dahulu.
“Tapi mas, kan tak ada kelirunya juga cek lagi. Dari pada saya kepikiran. Kelak, apa pun hasil tesnya seenggaknya kita ketahui apa yang perlu dilakuin. “
Ribut lah kami malam itu.
Pada akhirnya apa?
Saya bawa Rei konsultasi lagi. Naik motor sendiri sembari gendong bocah gunakan babycarier.
Luaaaar biasaaa kan.
Ayahnya hanya saya watsap, “aku ke klinik telah janjian ingin observasi Rei. ”
Sepanjang lebih kurang satu jam penuh observasi dikerjakan oleh terapis di klinik tsb.
Saya juga diwajibkan isi form bertanya jawab sekitar kisah kesehatan kehamilan serta kisah kesehatan anak mulai sejak dia lahir. Masihlah dilanjutkan dengan wawancara.
Selama observasi, saya tidak diijinkan masuk ke ruangan. Dari luar terdengar nada Rei yang menangis meraung-raung. Entah diapain itu bocah di dalam. Ingin ngintip juga rasanya tidak tega.
Ya Allah… kenapa lagi itu anak. Saya selalu meneguhkan hati bila keputusan yang saya ambillah ini tepat.
Hasil dari observasi hari itu yaitu anak saya benar-benar “Speech delay” alias Terlambat Bicara.
Ingin nangis saja rasanya. Terasa bersalah sama sendiri.
“Anak baru satu saja kog gak dapat ngurusnya sih? ”
“Kenapa juga dahulu ngasih anak TV! ”
“Kenapa dulu tidak dengerin peringatan teman? ”
“Kenapa? Kenapa? ”
“Semua salahmu…”
Bermacam-macam pembicaraan dalam hati.
Namun ingin gimana lagi lah. Nasi telah jadi bubur. Bila miliki mesin saat, mungkin saya telah balik ke saat dia masihlah bayi. Saya ga akan ngulangin kekeliruan macam ini lagi.
Hei nak.. Maafin ibumu..
Semua ini salahku…
***
Pertanyaan saya ke terapis waktu itu yaitu “apakah speech delay itu bermakna anak autis? ”
“Oh tidak bu. Satu diantara tanda-tanda anak autis memanglah telat bicara. Namun tak semuanya anak yang telat bicara disebutkan autis. Untuk anak ibu, dia telat bicara lebih karena kurangnya konsentrasi serta condong hiperaktif. Dia butuh diberikan bebrapa aktivitas spesifik yang merangsang pusat sensorinya supaya dia konsentrasi serta info dapat masuk. Tersebut kelak yang kita namakan terapy sensory integrasi. Sampai kini kan anak condong sukai nonton tv. Indranya asik nikmati gambar di tv, walau sebenarnya dengan cara sensori dia belum dapat menangkap gambar yang bergerak cepat seperti tayangan TV.
Jadi nanti kita berikanlah therapy untuk buka pusat sensori di otaknya. Sepanjang anak belum dapat terima info yang masuk dengan benar, darimana dia dapat merespon dengan benar juga. Ibaratnya kita ingin masuk ruang yang dikunci, ya kita mencari dahulu kan kuncinya yang cocok, agar kita dapat masuk lantas keluar lagi. ”
Untuk masalah anak ibu, bila diliat dari usianya yang baru 2 th. masihlah termasuk juga Golden Age. Kita bakal berikanlah therapy untuk menguber ketinggalannya. Lain dengan masalah di mana anak baru dibawa kemari sesudah usianya lewat dari 5 th.. Umumnya saya geramin itu orang tuanya “Kog baru dibawa saat ini sih pak buk?! ”.
Anak-anak speech delay yang condong lebih cepat diakukan semakin lebih terlihat akhirnya dibanding yang telah lewat golden age. Bila telah lewat 3 th. saja, pasien speech delay umumnya bakal dikerjakan tes untuk mendeteksi adakah beberapa gejala autisme lain yang mengikuti.
Alhamdulillah… bisa keterangan yang untuk saya masuk akal serta melegakan. Bukan hanya “hai buk, anakmu autis”.
Menurut sang terapis, penyebabnya speech delay itu berbagai macam. Jadi nanti perlakuannya sesuai dengan pemicunya.
Dari nomor 1-3 yang saya katakan diatas nyatanya erat hubungannya dengan sistem sensori di otak anak. Tersebut mengapa kelainan sistem sensori dapat jadi satu diantara penyebabnya anak alami keterlambatan bicara.
Jadi siapa yang katakan jadi ibu serta mengasuh anak itu gampang?
Jadi seseorang ibu itu untuk saya bermakna mesti belajar lagi. Lebih legowo dengan kritik serta input. Bila memanglah tak memahami ilmunya, tidak bakal ada kelirunya belajar lagi. Ya walau gak semuanya teori sekitar parenting dapat di tiru serta dikerjakan.
Untuk beberapa orangtua dimana saja kalian ada, mudah-mudahan pengalaman saya ini dapat jadikan pelajaran.
Hikmah dari mempunyai anak dengan speech delay yaitu, saya mengerti kalau :
“TV serta gadget itu sungguh tak memberi faedah untuk balita terlebih mereka yang usianya dibawah 2 th.. ”
Photo ini di ambil sekitar 2 tahun yang lalu. Umur rei baru hitungan bln..
Saat itu seseorang rekan di grup dengan berniat berkomentar, “Jangan diberi tv dong. Kasian.. Anak usia segitu gak bagus bila kena tv serta gadget. ”
Lalu apa tanggapan saya?
Sebagai ibu muda dengan tingkat emosi yang masihlah sukai meledak-ledak, saya tidak terima. Sebagai ibu muda yang tengah berjuang dengan status barunya, saya sebel dikomentarin.
Sebagai ibu muda yang emang belum belajar banyak tentang parenting yang baik, saya gak ingin tau.
Karena… orang yang komentar masihlah single.
Dalam hati, saya jadi balik nyinyir.
“Eh anda ya, nikah saja belom. Gatau rasanya jadi ibu. Gatau rasa-rasanya jadi stay at home mom, yang ga miliki pembantu. Mengharapkan si bocah anteng sebentar agar ibunya dapat masak ala kandungannya, sebatas makan sesudah lemes disedot Asinya sama bocah, sebatas mandi, sebatas rehat nonton tv. Bila tak ada pengalihan gini. Mana dapat emaknya ngerjain yang lain. ”
Fix… Saya membela diri.
Lalu…
Waktupun berlalu…
Rei semakin kecanduan nonton kartun di TV. Favoritnya dahulu yaitu Marsha and the bear.
Yang beberapa terang ngobrolnya gunakan bhs rusia.
Tiap-tiap saya ngerjain suatu hal, dia maunya nonton TV.
Bila tidak di setelin TV, anak ini mengamuk serta tantrum.
Fikir saya “Ah gapapa lah. Yang utama anteng. Dapat di ngerjain masalah rumah tangga. ”
Semakin lama….
Anak ini beneran anteng banget bila di depan tv. Dia dapat ketawa-ketawa sendiri setiap si marsha jahil. Atau setiap si Bear jatuh guling-guling dikerjain marsha.
Bila acara marsha nya bubar, dia bakal nangis mengamuk.
Bila g lagi nonton tv, dia ngapain? Ya seperti lazimnya anak-anak, dia bakal pecicilan ke sana kemari mainan apa saja.
Masuk umur satu tahun di mana semestinya anak telah mulai mengucap sebagian kata dengan terang, anak saya masihlah mengoceh gunakan bhs bayi. Mana bila ngamuk minta apa sukanya tantrum dengan tindakan mukulin kepala atau berguling-guling di lantai. Tiap-tiap di panggil namanya, dia cuek-cuek saja.
Hingga di sini… Saya serta suami mulai kewalahan, namun masihlah berasumsi lumrah. Baru satu tahun ini. Di amati dahulu lah. Demikian pemikiran saya.
Dengan cara motorik memanglah tak ada keterlambatan dalam diri anak saya. Cuma banyak hal yang saya fikir (lagi-lagi menurut saya) WAJAR.
Apakah itu?
1. Anak saya dari bayi sukai kagetan. Bila ada nada keras seperti klakson mobil atau orang teriak dia bakal bangun sembari menangis. Mitosnya, bila orang jawa “Dulu cocok baru lahir tidak di gebrak ya? ”
2. Saat telah dapat jalan, dia sukai sekali mendadak jalan jinjit. Seperti tidak ingin bila kakinya kotor. Dia juga gak sukai tidur di selimutin (walau sebenarnya gunakan AC). Dia gak ingin mencapai karpet atau keset bulu-bulu.
3. Tiap-tiap habis mandi lantas disisir rambutnya dengan sisir berupa sikat, anak ini senantiasa tampak tak nyaman. Pernah bahkan juga hingga menangis.
Masuk umur 2 th. anak saya masihlah belum dapat bicara. Janganlah bertanya seberapa dongkolnya saya setiap bisa pertanyaan dari beberapa kerabat “Kog belom dapat ngomong sih? ” atau saat rei ngoceh “Haduuuuh cah ganteng, anda ngomong apa kog seperti bhs alien. ”
(Emangnya telah pernah ketemu alien?)
Hingga pada akhirnya untuk memuaskan beberapa pemberi kritik, saya bawa Rei ke satu klinik tumbuh kembang.
Hasil konsultasi pertama waktu itu buat saya saat itu juga tidak sreg.
Mengapa?
Hla saat mendadak disebut anak saya ‘speech delay menghadap ke Autis’.
HAH… APAAA….!!!
Segampang itukah menyebutkan seseorang anak itu Autis?
“Hallooo… Gini-gini saya pernah bisa perkuliahan dengan materi Autisme ya. Seingat saya tes untuk diagnosis autis itu buwaaanyaaak. Tidak hanya di tes denver doang. Lantas saat lantaran anak saya cueknya 1/2 mati, asik dengan mainannya lantas dapat disebut autis. Gitu?
No no no… “
Lagi…. Emosi serta ego “ibu muda” saya bergejolak.
Saya tidak terima. Titik.
Saat itu saya males membawa anak saya ke klinik tumbuh kembang lagi.
Namun dengan beragam tekanan, serta hasil perenungan saya sebagai seseorang ibu yang memanglah rasakan ada yang salah dengan tumbuh kembang anak, pada akhirnya saya googling lagi. Mencari second opinion. Mencari pengalaman ibu-ibu lain dengan anak yang belum dapat bicara sekalipun di umur 2 th.. Mencari apa pun yang dapat saya kenali dengan kata kunci (keyword) “autisme”, “speech delay”, “keterlambatan bicara” serta lain lain.
Pada akhirnya saya temukan klinik yang gak sangat jauh dari tempat tinggal, dapat dijangkau sendiri naik motor. Saya juga mendiskusikan lagi dengan suami.
Apa tuturnya?
“Yang katakan anak kita autis itu siapa? Tidak usah di dengarkan mengapa sih? Orang anaknya baik-baik saja. Kelak bila telah waktunya juga pasti dapat ngomong. ”
Hyaaak… des… Suami saya juga sama ngeyelnya dengan saya dahulu.
“Tapi mas, kan tak ada kelirunya juga cek lagi. Dari pada saya kepikiran. Kelak, apa pun hasil tesnya seenggaknya kita ketahui apa yang perlu dilakuin. “
Ribut lah kami malam itu.
Pada akhirnya apa?
Saya bawa Rei konsultasi lagi. Naik motor sendiri sembari gendong bocah gunakan babycarier.
Luaaaar biasaaa kan.
Ayahnya hanya saya watsap, “aku ke klinik telah janjian ingin observasi Rei. ”
Sepanjang lebih kurang satu jam penuh observasi dikerjakan oleh terapis di klinik tsb.
Saya juga diwajibkan isi form bertanya jawab sekitar kisah kesehatan kehamilan serta kisah kesehatan anak mulai sejak dia lahir. Masihlah dilanjutkan dengan wawancara.
Selama observasi, saya tidak diijinkan masuk ke ruangan. Dari luar terdengar nada Rei yang menangis meraung-raung. Entah diapain itu bocah di dalam. Ingin ngintip juga rasanya tidak tega.
Ya Allah… kenapa lagi itu anak. Saya selalu meneguhkan hati bila keputusan yang saya ambillah ini tepat.
Hasil dari observasi hari itu yaitu anak saya benar-benar “Speech delay” alias Terlambat Bicara.
Ingin nangis saja rasanya. Terasa bersalah sama sendiri.
“Anak baru satu saja kog gak dapat ngurusnya sih? ”
“Kenapa juga dahulu ngasih anak TV! ”
“Kenapa dulu tidak dengerin peringatan teman? ”
“Kenapa? Kenapa? ”
“Semua salahmu…”
Bermacam-macam pembicaraan dalam hati.
Namun ingin gimana lagi lah. Nasi telah jadi bubur. Bila miliki mesin saat, mungkin saya telah balik ke saat dia masihlah bayi. Saya ga akan ngulangin kekeliruan macam ini lagi.
Hei nak.. Maafin ibumu..
Semua ini salahku…
***
Pertanyaan saya ke terapis waktu itu yaitu “apakah speech delay itu bermakna anak autis? ”
“Oh tidak bu. Satu diantara tanda-tanda anak autis memanglah telat bicara. Namun tak semuanya anak yang telat bicara disebutkan autis. Untuk anak ibu, dia telat bicara lebih karena kurangnya konsentrasi serta condong hiperaktif. Dia butuh diberikan bebrapa aktivitas spesifik yang merangsang pusat sensorinya supaya dia konsentrasi serta info dapat masuk. Tersebut kelak yang kita namakan terapy sensory integrasi. Sampai kini kan anak condong sukai nonton tv. Indranya asik nikmati gambar di tv, walau sebenarnya dengan cara sensori dia belum dapat menangkap gambar yang bergerak cepat seperti tayangan TV.
Jadi nanti kita berikanlah therapy untuk buka pusat sensori di otaknya. Sepanjang anak belum dapat terima info yang masuk dengan benar, darimana dia dapat merespon dengan benar juga. Ibaratnya kita ingin masuk ruang yang dikunci, ya kita mencari dahulu kan kuncinya yang cocok, agar kita dapat masuk lantas keluar lagi. ”
Untuk masalah anak ibu, bila diliat dari usianya yang baru 2 th. masihlah termasuk juga Golden Age. Kita bakal berikanlah therapy untuk menguber ketinggalannya. Lain dengan masalah di mana anak baru dibawa kemari sesudah usianya lewat dari 5 th.. Umumnya saya geramin itu orang tuanya “Kog baru dibawa saat ini sih pak buk?! ”.
Anak-anak speech delay yang condong lebih cepat diakukan semakin lebih terlihat akhirnya dibanding yang telah lewat golden age. Bila telah lewat 3 th. saja, pasien speech delay umumnya bakal dikerjakan tes untuk mendeteksi adakah beberapa gejala autisme lain yang mengikuti.
Alhamdulillah… bisa keterangan yang untuk saya masuk akal serta melegakan. Bukan hanya “hai buk, anakmu autis”.
Menurut sang terapis, penyebabnya speech delay itu berbagai macam. Jadi nanti perlakuannya sesuai dengan pemicunya.
Dari nomor 1-3 yang saya katakan diatas nyatanya erat hubungannya dengan sistem sensori di otak anak. Tersebut mengapa kelainan sistem sensori dapat jadi satu diantara penyebabnya anak alami keterlambatan bicara.
Jadi siapa yang katakan jadi ibu serta mengasuh anak itu gampang?
Jadi seseorang ibu itu untuk saya bermakna mesti belajar lagi. Lebih legowo dengan kritik serta input. Bila memanglah tak memahami ilmunya, tidak bakal ada kelirunya belajar lagi. Ya walau gak semuanya teori sekitar parenting dapat di tiru serta dikerjakan.
Untuk beberapa orangtua dimana saja kalian ada, mudah-mudahan pengalaman saya ini dapat jadikan pelajaran.
Hikmah dari mempunyai anak dengan speech delay yaitu, saya mengerti kalau :
“TV serta gadget itu sungguh tak memberi faedah untuk balita terlebih mereka yang usianya dibawah 2 th.. ”
Yakin Masih Mau Membiarkan Bayi Anda Nonton TV Sehabis Baca Pengalaman Ibu Satu Ini...????
Reviewed by Unknown
on
18.35
Rating:

Tidak ada komentar