Ungkapan Jujur dari Seorang Anak, Renungan Untuk Para Orang Tua yang Kurang Memahami Anaknya
Cerita ini banyak beredar di social media. Seperti yang ditulis dari sayangianak. com terlepas cerita fiktif atau riil dari narasi ini, namun begitu bisa jadi bahan renungan beberapa orang tua. Tersebut kisahnya :
Th. 2005 waktu lalu saya mesti mondar-mandir ke SD tempat sekolah anak kami. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Saat itu saya memang mesti berurusan dengan wali kelas serta kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas serta kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, saat itu malah terdaftar sebagai anak yang mempunyai masalah. Waktu saya tanyakan apa masalah Dika, guru serta kepala sekolah malah bertanya apa yang berlangsung dirumah sehingga anak itu selalu murung serta menghabiskan sebagian besar saat belajar di kelas cuma untuk melamun. Prestasinya semakin lama semakin merosot.
Dengan lemah lembut saya tanyakan pada Dika, “Apa yang anda inginkan? ” Dika cuma menggeleng.
“Kamu menginginkan ibu berlaku seperti apa?, ” bertanya saya. “Biasa-biasa saja, ” jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas serta kepala sekolah untuk mencari solusinya, tetapi telah demikian lama tidak ada perkembangan. Pada akhirnya kamipun setuju untuk memohon bantuan seseorang psikolog.
Satu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk melakukan test IQ. Tanpa ada persiapan apa pun, Dika merampungkan masalah untuk masalah dalam hitungan menit. Sebagian waktu lalu, Psikolog yang tampak bersahaja tetapi penuh keramahan itu selekasnya memberitahu hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya meraih 147 (begitu cerdas) dimana score untuk beberapa segi kekuatan pemahaman ruangan, abstraksi, bhs, pengetahuan tentu, penalaran, kecermatan serta kecepatan sekitar pada angka 140 – 160. Tetapi ada satu kejanggalan, yakni score untuk kekuatan verbalnya tak kian lebih 115 (rata-rata cerdas).
Ketidaksamaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang tidak sama tersebut yang menurut psikolog, butuh dikerjakan pendalaman selanjutnya. Oleh karenanya psikolog itu dengan santun merekomendasikan saya untuk mengantar Dika kembali pada tempat itu satu minggu lagi. Menurut dia Dika butuh melakukan test kepribadian.
Satu sore, saya meluangkan diri mengantar Dika kembali ikuti rangkaian test kepribadian. Lewat interview serta test tercatat yang dikerjakan, sekurang-kurangnya psikolog itu sudah menarik benang merah yang menurut dia jadi satu diantara atau sebagian aspek penghalang kekuatan verbal Dika.
Sekurang-kurangnya saya dapat membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang terdalam itu bikin saya berkaca diri, lihat muka seseorang ibu yang masihlah jauh dari ideal.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU : …. ”
Dika juga menjawab, “Membiarkan saya bermain sesuka hatiku, sebentar saja. ”
Dengan sebagian pertanyaan pendalaman, tersingkap kalau sampai kini saya kurang berikan peluang pada Dika untuk bermain bebas. Saat itu saya memikirkan kalau banyak macam permainan-permainan mendidik hingga saya terasa butuh menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku narasi, kapan waktunya main game di computer dsb. Saat itu saya memikirkan kalau untuk kebaikan serta untuk saat depannya, Dika butuh nikmati permainan-permainan dengan cara rata di sela-sela saat luangnya yang memanglah tinggal sedikit lantaran beberapa besar sudah di habiskan untuk sekolah serta ikuti beragam pelatihan diluar sekolah. Saya senantiasa pusing pikirkan jadwal aktivitas Dika yang demikian rumit. Namun nyatanya keinginan Dika cuma simpel, di beri kebebasan bermain sesuka hatinya, nikmati saat kanak-kanaknya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN KERTAS BERTULISKAN “AKU INGIN AYAHKU …”
Dika juga menjawab dengan kalimat yang berantakan tetapi kurang lebih artinya “Aku menginginkan ayahku lakukan apa sajakah seperti dia menuntutku lakukan sesuatu”.
Lewat sebagian pertanyaan pendalaman, tersingkap kalau Dika tidak ingin diajari atau diminta, terlebih diperintah untuk lakukan ini serta itu. Ia cuma menginginkan lihat ayahnya lakukan apa sajakah sehari-hari, seperti apa yang diperintahkan pada Dika. Dika menginginkan ayahnya bangun pagi-pagi lalu membereskan tempat tidurnya sendiri, makan serta minum tanpa ada mesti dilayani orang lain, melihat TV seperlunya, membereskan sendiri koran yang habis dibacanya serta tidur pas saat. Simpel memanglah, namun beberapa hal seperti itu malah susah dikerjakan oleh umumnya orangtua.
KETIKA PSIKOLOG MENGAJUKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU TIDAK …”
Jadi Dika menjawab, “Menganggapku seperti dianya. ”
Dalam beberapa hal saya terasa kalau pengalaman hidup saya yang sukai berusaha keras, disiplin, irit, gigih untuk meraih suatu hal yang saya kehendaki itu adalah sikap yang terbaik serta bijaksana. Hampir-hampir saya menginginkan jadikan Dika sama seperti diri saya. Saya serta banyak orangtua yang lain kerapkali menginginkan jadikan anak sebagai fotocopy diri kita atau bahkan juga berasumsi kalau anak yaitu orang dewasa berbentuk sachet kecil.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU TIDAK…. ”
Dika juga menjawab, “Tidak menyalahkan saya di depan orang lain. Tak menyampaikan kalau beberapa kekeliruan kecil yang aku bikin yaitu dosa. ”
Tanpa ada diakui, orang-tua kerap menuntut anak selalu untuk berlaku serta melakukan tindakan benar, sampai beberapa nyaris tidak berikan tempat padanya untuk berbuat kekeliruan. Apabila orang-tua berasumsi kalau tiap-tiap kekeliruan yaitu dosa yang perlu diganjar dengan hukuman, jadi anakpun bakal pilih untuk berbohong serta tidak ingin mengaku kekeliruan yang sudah dibuatnya dengan jujur. Kesusahan baru bakal nampak lantaran orang-tua tidak paham kekeliruan apa yang sudah di buat anak, hingga tidak paham aksi apa yang perlu kami kerjakan untuk menghindar atau menghentikannya.
Saya jadi sadar kalau ada saatnya anak-anak butuh di beri peluang untuk berbuat salah, lalu iapun dapat belajar dari kekeliruannya. Konsekwensi dari sikap serta perbuatannya yang salah adakalanya dapat jadi pelajaran bernilai agar di beberapa saat yang akan datang tak bikin kekeliruan yang sama.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN “AKU INGIN IBUKU BERBICARA TENTANG ….. ”
Dika juga menjawab, “Berbicara mengenai beberapa hal yang utama saja”.
Saya cukup kaget lantaran saat itu saya malah memakai peluang yang begitu sempit, sekembalinya dari kantor untuk mengulas beberapa hal yang menurut saya utama, seperti bertanya pelajaran serta PR yang didapatkan gurunya. Tetapi nyatanya beberapa hal yang menurut saya utama, tidaklah suatu hal yang utama untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos serta jujur itu saya diingatkan kalau kecerdasan tak lebih utama daripada hikmat serta inginalan bakal Tuhan. Pengajaran mengenai kasih tak kalah utamanya dengan ilmu dan pengetahuan.
ATAS PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU BERBICARA TENTANG ….. ”,
Dika juga menuliskan, “Aku menginginkan ayahku bicara mengenai beberapa kekeliruannya. Saya menginginkan ayahku tidak selamanya terasa benar, terhebat serta tak pernah berbuat salah. Saya menginginkan ayahku mengaku kekeliruannya serta mohon maaf kepadaku. ”
Memanglah dalam beberapa hal, orang-tua berbuat benar namun sebagai manusia, orang-tua tidak luput dari kekeliruan. Hasrat Dika sesungguhnya simpel, yakni menginginkan orangtuanya sportif, ingin mengaku kesalahnya serta bila butuh mohon maaf atas kekeliruannya, seperti apa yang di ajarkan orangtua padanya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN “AKU INGIN IBUKU SETIAP HARI ….. ”
Dika memikirkan sesaat, lalu mencoretkan penanya dengan lancar, “Aku menginginkan ibuku mencium serta memelukku erat-erat seperti ia mencium serta memeluk adikku”.
Memanglah adakalanya saya memikirkan kalau Dika yang nyaris setinggi saya telah tak layak lagi dipeluk-peluk, terlebih dicium-cium. Nyatanya saya salah, pelukan hangat serta ciuman sayang seseorang ibu tetaplah diperlukan agar setiap harinya merasa lebih indah. Saat itu saya tak mengerti kalau perlakukan orangtua yang berbeda pada anak-anaknya kerapkali oleh anak-anak ditranslate sebagai aksi yg tidak adil atau tentukan kasih.
SECARIK KERTAS YANG BERISI PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU SETIAP HARI…. ”
Dika menuliskan satu kata pas diatas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum. ”
Simpel memanglah, namun kerapkali seseorang bapak terasa butuh menahan senyumannya untuk menjaga wibawanya. Walau sebenarnya senyum tulus seseorang bapak sedikitpun akan tidak melunturkan wibawanya, namun malah dapat memberi simpati serta daya untuk anak-anak dalam lakukan semua suatu hal seperti yang ia saksikan dari ayahnya sehari-hari.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN KERTAS YANG BERTULISKAN “AKU INGIN IBUKU MEMANGGILKU. …”
Dika juga menuliskan, “Aku menginginkan ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”
Saya tersentak sekali! Memanglah sebelumnya ia lahir kami sudah pilih nama yang terbagus serta penuh arti, yakni Judika Ekaristi Kurniawan. Tetapi sayang, tanpa ada sadar, saya senantiasa memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bhs Jawa di ambil dari kata “Lanang” yang bermakna lelaki.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN YANG BERBUNYI “AKU INGIN AYAHKU MEMANGGILKU.. ”
Dika cuma menuliskan 2 kata saja, yakni “Nama Asli”.
Sampai kini suami saya memanglah memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” lantaran keseharian Dika bicara dalam bhs Indonesia atau bhs Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling, ” kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos serta jujur itu, saya jadi malu lantaran sampai kini saya bekerja di satu instansi yang membela serta memperjuangkan hak-hak anak. Pada beberapa orang saya kampanyekan utamanya penghormatan hak-hak anak sesuai sama Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Pada khalayak ramai saya berikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice”, satu seruan yang mengingatkan kalau “Menghormati Hak Anak yaitu Keharusan, bukanlah Pilihan”.
Tanpa ada saya sadari, saya sudah tidak mematuhi hak anak saya lantaran sudah memanggilnya dengan panggilan yg tidak hormat serta bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos serta dalam tingkah polah anak yang bikin orangtua terkadang bangga serta terkadang kesal, nyatanya terdapat beberapa Pesan Yang Tidak Terucapkan.
Kalau semuanya bapak mengasihi anak-anaknya, jadi tak ada satupun anak yang kecewa atau geram pada ayahnya. Anak-anak memanglah mesti di ajarkan untuk menghormati bapak serta ibunya, namun beberapa orangtua tak bisa menghidupkan amarah didalam hati anak-anaknya. Beberapa orang-tua mesti mendidik anaknya didalam ajaran serta saran yang baik. Mudah-mudahan berguna untuk kita semuanya, beberapa orangtua dari putra/putri kita semasing.
Th. 2005 waktu lalu saya mesti mondar-mandir ke SD tempat sekolah anak kami. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Saat itu saya memang mesti berurusan dengan wali kelas serta kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas serta kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, saat itu malah terdaftar sebagai anak yang mempunyai masalah. Waktu saya tanyakan apa masalah Dika, guru serta kepala sekolah malah bertanya apa yang berlangsung dirumah sehingga anak itu selalu murung serta menghabiskan sebagian besar saat belajar di kelas cuma untuk melamun. Prestasinya semakin lama semakin merosot.
Dengan lemah lembut saya tanyakan pada Dika, “Apa yang anda inginkan? ” Dika cuma menggeleng.
“Kamu menginginkan ibu berlaku seperti apa?, ” bertanya saya. “Biasa-biasa saja, ” jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas serta kepala sekolah untuk mencari solusinya, tetapi telah demikian lama tidak ada perkembangan. Pada akhirnya kamipun setuju untuk memohon bantuan seseorang psikolog.
Satu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk melakukan test IQ. Tanpa ada persiapan apa pun, Dika merampungkan masalah untuk masalah dalam hitungan menit. Sebagian waktu lalu, Psikolog yang tampak bersahaja tetapi penuh keramahan itu selekasnya memberitahu hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya meraih 147 (begitu cerdas) dimana score untuk beberapa segi kekuatan pemahaman ruangan, abstraksi, bhs, pengetahuan tentu, penalaran, kecermatan serta kecepatan sekitar pada angka 140 – 160. Tetapi ada satu kejanggalan, yakni score untuk kekuatan verbalnya tak kian lebih 115 (rata-rata cerdas).
Ketidaksamaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang tidak sama tersebut yang menurut psikolog, butuh dikerjakan pendalaman selanjutnya. Oleh karenanya psikolog itu dengan santun merekomendasikan saya untuk mengantar Dika kembali pada tempat itu satu minggu lagi. Menurut dia Dika butuh melakukan test kepribadian.
Satu sore, saya meluangkan diri mengantar Dika kembali ikuti rangkaian test kepribadian. Lewat interview serta test tercatat yang dikerjakan, sekurang-kurangnya psikolog itu sudah menarik benang merah yang menurut dia jadi satu diantara atau sebagian aspek penghalang kekuatan verbal Dika.
Sekurang-kurangnya saya dapat membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang terdalam itu bikin saya berkaca diri, lihat muka seseorang ibu yang masihlah jauh dari ideal.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU : …. ”
Dika juga menjawab, “Membiarkan saya bermain sesuka hatiku, sebentar saja. ”
Dengan sebagian pertanyaan pendalaman, tersingkap kalau sampai kini saya kurang berikan peluang pada Dika untuk bermain bebas. Saat itu saya memikirkan kalau banyak macam permainan-permainan mendidik hingga saya terasa butuh menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku narasi, kapan waktunya main game di computer dsb. Saat itu saya memikirkan kalau untuk kebaikan serta untuk saat depannya, Dika butuh nikmati permainan-permainan dengan cara rata di sela-sela saat luangnya yang memanglah tinggal sedikit lantaran beberapa besar sudah di habiskan untuk sekolah serta ikuti beragam pelatihan diluar sekolah. Saya senantiasa pusing pikirkan jadwal aktivitas Dika yang demikian rumit. Namun nyatanya keinginan Dika cuma simpel, di beri kebebasan bermain sesuka hatinya, nikmati saat kanak-kanaknya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN KERTAS BERTULISKAN “AKU INGIN AYAHKU …”
Dika juga menjawab dengan kalimat yang berantakan tetapi kurang lebih artinya “Aku menginginkan ayahku lakukan apa sajakah seperti dia menuntutku lakukan sesuatu”.
Lewat sebagian pertanyaan pendalaman, tersingkap kalau Dika tidak ingin diajari atau diminta, terlebih diperintah untuk lakukan ini serta itu. Ia cuma menginginkan lihat ayahnya lakukan apa sajakah sehari-hari, seperti apa yang diperintahkan pada Dika. Dika menginginkan ayahnya bangun pagi-pagi lalu membereskan tempat tidurnya sendiri, makan serta minum tanpa ada mesti dilayani orang lain, melihat TV seperlunya, membereskan sendiri koran yang habis dibacanya serta tidur pas saat. Simpel memanglah, namun beberapa hal seperti itu malah susah dikerjakan oleh umumnya orangtua.
KETIKA PSIKOLOG MENGAJUKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU TIDAK …”
Jadi Dika menjawab, “Menganggapku seperti dianya. ”
Dalam beberapa hal saya terasa kalau pengalaman hidup saya yang sukai berusaha keras, disiplin, irit, gigih untuk meraih suatu hal yang saya kehendaki itu adalah sikap yang terbaik serta bijaksana. Hampir-hampir saya menginginkan jadikan Dika sama seperti diri saya. Saya serta banyak orangtua yang lain kerapkali menginginkan jadikan anak sebagai fotocopy diri kita atau bahkan juga berasumsi kalau anak yaitu orang dewasa berbentuk sachet kecil.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU TIDAK…. ”
Dika juga menjawab, “Tidak menyalahkan saya di depan orang lain. Tak menyampaikan kalau beberapa kekeliruan kecil yang aku bikin yaitu dosa. ”
Tanpa ada diakui, orang-tua kerap menuntut anak selalu untuk berlaku serta melakukan tindakan benar, sampai beberapa nyaris tidak berikan tempat padanya untuk berbuat kekeliruan. Apabila orang-tua berasumsi kalau tiap-tiap kekeliruan yaitu dosa yang perlu diganjar dengan hukuman, jadi anakpun bakal pilih untuk berbohong serta tidak ingin mengaku kekeliruan yang sudah dibuatnya dengan jujur. Kesusahan baru bakal nampak lantaran orang-tua tidak paham kekeliruan apa yang sudah di buat anak, hingga tidak paham aksi apa yang perlu kami kerjakan untuk menghindar atau menghentikannya.
Saya jadi sadar kalau ada saatnya anak-anak butuh di beri peluang untuk berbuat salah, lalu iapun dapat belajar dari kekeliruannya. Konsekwensi dari sikap serta perbuatannya yang salah adakalanya dapat jadi pelajaran bernilai agar di beberapa saat yang akan datang tak bikin kekeliruan yang sama.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN “AKU INGIN IBUKU BERBICARA TENTANG ….. ”
Dika juga menjawab, “Berbicara mengenai beberapa hal yang utama saja”.
Saya cukup kaget lantaran saat itu saya malah memakai peluang yang begitu sempit, sekembalinya dari kantor untuk mengulas beberapa hal yang menurut saya utama, seperti bertanya pelajaran serta PR yang didapatkan gurunya. Tetapi nyatanya beberapa hal yang menurut saya utama, tidaklah suatu hal yang utama untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos serta jujur itu saya diingatkan kalau kecerdasan tak lebih utama daripada hikmat serta inginalan bakal Tuhan. Pengajaran mengenai kasih tak kalah utamanya dengan ilmu dan pengetahuan.
ATAS PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU BERBICARA TENTANG ….. ”,
Dika juga menuliskan, “Aku menginginkan ayahku bicara mengenai beberapa kekeliruannya. Saya menginginkan ayahku tidak selamanya terasa benar, terhebat serta tak pernah berbuat salah. Saya menginginkan ayahku mengaku kekeliruannya serta mohon maaf kepadaku. ”
Memanglah dalam beberapa hal, orang-tua berbuat benar namun sebagai manusia, orang-tua tidak luput dari kekeliruan. Hasrat Dika sesungguhnya simpel, yakni menginginkan orangtuanya sportif, ingin mengaku kesalahnya serta bila butuh mohon maaf atas kekeliruannya, seperti apa yang di ajarkan orangtua padanya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN “AKU INGIN IBUKU SETIAP HARI ….. ”
Dika memikirkan sesaat, lalu mencoretkan penanya dengan lancar, “Aku menginginkan ibuku mencium serta memelukku erat-erat seperti ia mencium serta memeluk adikku”.
Memanglah adakalanya saya memikirkan kalau Dika yang nyaris setinggi saya telah tak layak lagi dipeluk-peluk, terlebih dicium-cium. Nyatanya saya salah, pelukan hangat serta ciuman sayang seseorang ibu tetaplah diperlukan agar setiap harinya merasa lebih indah. Saat itu saya tak mengerti kalau perlakukan orangtua yang berbeda pada anak-anaknya kerapkali oleh anak-anak ditranslate sebagai aksi yg tidak adil atau tentukan kasih.
SECARIK KERTAS YANG BERISI PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU SETIAP HARI…. ”
Dika menuliskan satu kata pas diatas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum. ”
Simpel memanglah, namun kerapkali seseorang bapak terasa butuh menahan senyumannya untuk menjaga wibawanya. Walau sebenarnya senyum tulus seseorang bapak sedikitpun akan tidak melunturkan wibawanya, namun malah dapat memberi simpati serta daya untuk anak-anak dalam lakukan semua suatu hal seperti yang ia saksikan dari ayahnya sehari-hari.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN KERTAS YANG BERTULISKAN “AKU INGIN IBUKU MEMANGGILKU. …”
Dika juga menuliskan, “Aku menginginkan ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”
Saya tersentak sekali! Memanglah sebelumnya ia lahir kami sudah pilih nama yang terbagus serta penuh arti, yakni Judika Ekaristi Kurniawan. Tetapi sayang, tanpa ada sadar, saya senantiasa memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bhs Jawa di ambil dari kata “Lanang” yang bermakna lelaki.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN YANG BERBUNYI “AKU INGIN AYAHKU MEMANGGILKU.. ”
Dika cuma menuliskan 2 kata saja, yakni “Nama Asli”.
Sampai kini suami saya memanglah memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” lantaran keseharian Dika bicara dalam bhs Indonesia atau bhs Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling, ” kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos serta jujur itu, saya jadi malu lantaran sampai kini saya bekerja di satu instansi yang membela serta memperjuangkan hak-hak anak. Pada beberapa orang saya kampanyekan utamanya penghormatan hak-hak anak sesuai sama Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Pada khalayak ramai saya berikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice”, satu seruan yang mengingatkan kalau “Menghormati Hak Anak yaitu Keharusan, bukanlah Pilihan”.
Tanpa ada saya sadari, saya sudah tidak mematuhi hak anak saya lantaran sudah memanggilnya dengan panggilan yg tidak hormat serta bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos serta dalam tingkah polah anak yang bikin orangtua terkadang bangga serta terkadang kesal, nyatanya terdapat beberapa Pesan Yang Tidak Terucapkan.
Kalau semuanya bapak mengasihi anak-anaknya, jadi tak ada satupun anak yang kecewa atau geram pada ayahnya. Anak-anak memanglah mesti di ajarkan untuk menghormati bapak serta ibunya, namun beberapa orangtua tak bisa menghidupkan amarah didalam hati anak-anaknya. Beberapa orang-tua mesti mendidik anaknya didalam ajaran serta saran yang baik. Mudah-mudahan berguna untuk kita semuanya, beberapa orangtua dari putra/putri kita semasing.
Ungkapan Jujur dari Seorang Anak, Renungan Untuk Para Orang Tua yang Kurang Memahami Anaknya
Reviewed by Unknown
on
04.52
Rating:

Tidak ada komentar